Photo By Yatim Mandiri |
Ibnu Hazm jatuh cinta pada pembantunya yang masih berusia 16 tahun. Dipaparkannya dalam buku yang ia tulis Thouq Al-Hamamah, bahwa hamba sahayanya ini adalah perempuan paling anggun yang pernah ia temui. Wajahnya bercahaya, perilakunya anggun, juga gerakgeriknya sangat elok. Meski tinggal disatu rumah yang sama, namun, hamba sahayanya ini sama sekali tidak pernah bertutur kata sepatah pun pada Ibnu Hazm. “Saya sangat mencintainya. Sungguh, sangat mencintainya. Selama dua tahun saya terus berusaha keras untuk dapat mendengar satu kata khusus yang terucap dari mulutnya untuk saya,” ujar Ibnu Hazm dalam bukunya. Sekeras apapun Ibnu Hazm mengajaknya bicara, perempuan anggun ini tetap diam. Menjaga pandangan dan jaraknya pada lawan jenis. Hingga suatu hari keluarga Ibnu Hazm mengadakan sebuah pesta. Dalam keriuhan pesta, hamba sahaya itu melebur bersama para perempuan lain. Ibnu Hazm mencoba mendekatinya untuk menyatakan cintanya. Namun, saat keduanya sudah sangat dekat hamba sahaya ini menyadari kehadiran Ibnu Hazm. Dirinya pun menghindar.
Sampai tiba saat ibunda Ibnu Hazm meminta hamba sahaya itu bernyanyi. Dirinya yang awalnya hanya malu-malu mulai mendendangkan beberapa bait lagu. Itulah momen dimana Ibnu Hazm bisa melihat wajah hamba sahaya yang amat dicintainya itu lebih lama. Begitu menentramkan saat dipandang. Mendengar suaranya yang indah. Yang tak pernah didengarnya sebelumnya. “Andai saja ia tak beraga. Malaikat ia selayaknya. Wajahnya bersinar bak permata, tubuhnya pualam pendarkan cahaya,” tulis Ibnu Hazm. Sayangnya, setelah itu Ibnu Hazm dan keluarganya pindah ke barat Cordoba, hamba sahaya ini tak ikut dengan keluarga Ibnu Hazm. Mereka tak pernah lagi bertemu.
Hingga suatu ketika Ibnu Hazm melihatnya dipemakaman seorang keluarga Ibnu Hazm. Dirinya sempat senang, seakan cinta lamanya tumbuh kembali. Namun itu tak lama. Sejak saat itu, Ibnu Hazm tak pernah lagi melihatnya. Sampai suatu saat Ibnu Hazm berjalan bersama seorang teman. Dan temannya ini mengenali seorang wanita yang tak asing. “Wajahnya lusuh. Tak ada lagi kecantikan yang terpancar. Dirinya tak lagi bisa menjaga perilakunya dan sikapnya. Berbeda dengan dirinya yang kucintai dulu,” ujar Ibnu Hazm. Ternyata, semua itu karena dirinya sudah tak bisa menjaga sikapnya, sering mencari nafkah diluar rumah sendiri.
Ada hikmah yang dapat dipetik dari kisah Ibnu Hazm ini.
Bahwa cinta yang tak berbalas bukanlah hal yang selalu harus ditangisi. Mungkin Allah sudah menggariskan kita dengan lawan jenis lain yang lebih pantas. Percayalah bahwa jodoh yang diberikan Allah adalah yang terbaik. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah
Sumber: Majalah Yatim Mandiri (2018) Download Majalah KLIK
http://www.yatimmandiri.org