Oleh: Roli Abdul Rokhman
Sebagai mana dalam pembahasan yang sudah penulis paparkan, bahwa di dalam ajaran Islam ibadah puasa dilakukan untuk meninggikan kualitas manusia yang di dalam bahasa Al-Qur’an disitir dengan sebutan Takwa. Berdasarkan hal ini, maka puasa sangat berhubungan erat, dengan pemberdayaan sumber daya manusia yang telah menjadi trend decade komtemporer. Kalau kita berbicara mengenai kualitas manusia, maka cakrawala pandangnya menjadi sangat kompleks dan mendalam, demikian juga apa bila dikaitkan dengan kedisiplinan yang mempribadi pada diri seseorang. Namun demikian itu pun merupakan kaitan yang cukup sederhana dan mudah untuk dinalar bagi yang mau berpikir secara serius dan mendalam.
Logika yang penulis tawarkan mudah diterima, karena kualitas manusia yang ingin dibina melalui puasa ini tidak hanya dalam dimensi duniawi melainkan transendental, melampaui batasan ruang dan waktu. Secara simple dapat dikatakan bahwa kualitas manusia yang dikehendaki dalam paparan pemikiran ini tidak lain adalah kualitas manusia yang memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menyerahkan dan menyadarkan hidupnya kepada kehendak Yang Maha Esa, atau disebut dengan Generasi yang memiliki kualitas tauhid secara utuh dan benar.
Bila kita cermati, kedisiplinan sangat berhubungan erat dengan masalah kehidupan manusia setiap harinya, dengan demikian lebih banyak menekankan ikhtiyari keduniaan. Menurut keyakinan penulis, sebagai suatu agama yang besar dan sempurna, agama Islam telah banyak memberikan pedoman dalam hal-hal yang menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu tentunya kita yang ada di dalamnya, dapat menemukan pedoman kearah pembinaan dan peningkatan tingkat kedisiplinan hidup dalam keseharian. Islam telah mengajarkan kepada kita tentang persamaan bagi setiap orang dalam kehidupan, baik yang menyangkut hal hidup ataupun kewajiban hidup, sesuai dengan kualitas diri pribadinya.
Disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa “bagi Allah yang paling mulia di antara manusia adalah mereka yang paling bertaqwa” ( Q.S. Al- Hujurat ;13). Ini mengandung pengertian bahwa dalam pandangan Islam, tidak membedakan laki-laki, wanita, dewasa, anak-anak, suku, ras, kaya atau miskin dan sebagainya. Islam dalam kerangka berfikir ini benar-benar menyapa manusia secara individual yang menentukan hanyalah kualitas ketakwaan. Tolok ukurnya individu dalam mendisiplinkan diri pada berbagai perintah yang harus dilaksanakan dan larangan yang harus ditinggalkan, demikian juga yang mengetahui kualitas ketakwaan seseorang hanyalah Allah semata. Oleh karena itu manusia tidak berwenang untuk menghakimi tingkat kepatuhan dan kepasrahan seseorang dalam aktivitas ibadah.
Agama Islam menjunjung tinggi persamaan antara manusia dan warga masyarakat, demikian juga dalam Islam menjunjung tinggi kedisiplinan sebagaimana dalam surat Al-Insyiroh dinyatakan “ Maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sesungguhnya urusan yang kepada Tuhanlah hendaknya kamu berharap” (Q.S. Al-Insyiroh : 7-8)
Pernyataan dalam Al-Qur’an inilah yang menyebabkan Islam merupakan agama yang progesif oleh karena ia mengajak pemeluknya untuk tuntas dengan baik apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab. Sekaligus mencari dan melakukan aktivitas ibadah yang lebih bermakna guna menggapai keridaan Allah swt. Dengan demikian menurut hemat penulis, orang Islam yang tidak memiliki kualitas amal dan ibadah, dengan kuantitas yang cukup, maka belumlah ia dikategorikan orang Islam yang baik.
Islam dan progesivitas kehidupan membawa kita pada pengertian bahwa Islam membawa kita kepada adanya ketertiban dan keteraturan dalam berbagai aktivitas, hal ini yang harus ditanamkan pada generasi kita semenjak dini. Hal ini jelas bahwa dalam Islam tidak menghendaki adanya kekacauan, penyelewengan dan kerusakan beserta perbuatan yang bersifat merusak. Inilah yang harus kita tanamkan kepada generasi kita agar benar-benar lurus dalam melakukan berbagai aktivitas dengan konsisten dan bertanggung jawab.
Dari sinilah sebenarnya muncul kesadaran bersama dari umat Islam untuk lebih mengedepankan kedisiplinan dan pembinaannya kepada generasi penerus dimasa mendatang. Kesadaran ini dilandaskan kepada kerangka berfikir dan kehendak ajaran Islam yang menghendaki adanya kedamaian, ketertiban dan keteraturan dalam berbagi aktivitas kehidupan terlebih lagi peribadatannya.
Akhirnya pemahaman ini kita tarik benang merah, bahwa pelaksanaan ibadah puasa dapat memberikan pengaruh terhadap pembinaan kedisiplinan orang yang menjalankannya. Demikian juga anak yang masih dalam proses pembinaan kedisiplinan, sehingga pada diri manusia utamanya anak akan tertanam kesadaran pada kedamaian, ketertiban, keteraturan dan keaktifan dalam berbagai proses dan aktivitas yang harus dijalaninya sesuai dengan aturan dan petunjuk yang harus dipenuhi dan ditaati.
Menurut pendapat Satjipto Raharja, dalam makalahnya yang berjudul : Puasa Dan Pembinaan Disiplin Nasional : “ Puasa Memberikan Sahamnya Sendiri Terhadap Pembinaan Disiplin Nasional”. Bila ditelusuri dengan pemikiran yang jernih, statemen ini cukup menjadi referensi bagi kita karena sebagaimana pemaparan penulis pengendalian diri adalah merupakan tolak ukur kedisiplinan yang cukup sulit, untuk diterapkan. Dalam arti yang lebih dalam disiplin dapat berarti mengenyampingkan kepentingan diri sendiri, Islam menghendaki ketakwaan yaitu penyerahan diri setinggi-tingginya kepada kehendak Yang Maha Kuasa yaitu Allah. Ini adalah merupakan tuntutan berat bagi setiap muslim apalagi anak yang masih dalam proses pembinaan disiplin. Namun demikian berkat kesadaran orang tua dan keadaan lingkungan sekitar yang memiliki kultural Islam, anak yang masih lemah dan terbatas segala sesuatunya telah mampu menjalankan ibadah puasa sesuai dengan standar-standar.
Menurut Zakiah Darojat dalam bukunya Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental dinyatakan : “Kelakuan buruk terkutuk seseorang itu, timbul dari dorongan hawa nafsu yang tidak terkendali. Alat pengendali diri yang paling ampuh adalah keimanan yang terjalin masuk kedalam kepribadian.”
Jelas sekali bahwa perilaku terkutuk timbul karena tidak adanya kontrol nafsu, oleh karena itu secara alamiah puasa akan menjadi pengendali diri dalam melakukan perilaku buruk dan terkutuk. Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan H.M. Amien Rais; “Ibadah puasa akan dapat memberikan perisai atau benteng yang handal untuk menggapai rayuan keduniaan, seperti kata Nabi, “puasa dapat menjadi pemisah manusia dari neraka.” Dengan berpuasa seseorang akan memiliki kekuatan yang tangguh, sehingga dapat melindungi diri dari berbagai pengaruh nafsu yang buruk dan menyesatkan.
Dengan adanya benteng yang kokoh inilah, manusia akan mampu mengembangkan fitrah kemanusiaannya secara lebih baik dan sempurna. Menurut Ali Syariati dalam bukunya The Man Of Islam disebut sebagai Insan Kamil. Sosok manusia yang telah mampu menyeimbangkan pola kehidupan dunia dan akherat untuk mengemban misi rahmatan lil ‘alaamiin.
Dalam kaitannya dengan kesadaran mentaati aturan Hamka menegaskan: “Apabila puasa dikerjakan dengan penuh iman dan menghitung laba rugi rohani, terdidiklah diri menjauhi dosa. Beberapa pendapat dan ulasan di atas memberikan pemahaman yang jelas bagi kita, bahwa dengan menjalankan ibadah puasa, akan tertanam dalam diri kita, wawasan, mental dan kesadaran untuk mengendalikan diri dari berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan tolak ukur hukum dan kehidupan dari berbagai aspeknya. Dengan demikian kesadaran untuk taat dan patuh terhadap aturan dan perintah yang membawa pada kemaslahatan akan semakin meningkat.
Dari paparan pemikiran diatas dapat disimpulkan tentang rasionalisasi pelaksanaan ibadah puasa dalam pembentukan kedisiplinan anak, yaitu dengan melaksanakan ibadah puasa secara tertib, aktif dan ikhlas akan tertanam jiwa patuh dan taat, karena anak telah terbiasa memenuhi aturan berpuasa sekalipun tidak ada yang mengontrol kecuali Allah Dengan demikian sikap tunduk patuh dan taat yang telah tertanam di dalam jiwa anak akan mempengaruhi perilaku anak dalam mematuhi peraturan dan tata tertib sekolah. Inilah bentuk kedisiplinan yang harus dipenuhi oleh anak yaitu, taat, patuh dan bertanggungjawab dalam mentaati perturan sekolah. Dan hendaknya menjadi perhatian bagi guru dan orangtua untuk membina dan mengembangkan sikap disiplin anak melalui ibadah puasa. Amiin. *)
Roli Abdul Rokhman: Sekretaris ICMI Orda Bojonegoro. Anggota Presidium Majlis Daerah KAHMI Kabupaten Bojonegoro
0 Comments
Posting Komentar